Friday, September 28, 2007

Hasan Al-Bannâ Sang Revolusioner

Setiap zaman selalu memiliki bintang. Dan Hasan Al-Banna adalah bintang zaman itu. Dia adalah sang bintang yang melahirkan zaman.

Mahmudiyah adalah sebuah daerah indah di profinsi Buhairah, 90 Km dari Kairo, Mesir. Pada saat itu, Mahmudiyah adalah sebuah kota yang dipenuhi manusia-manusia ramah dan berbudi luhur. Keluarga-keluarga membesarkan putra-putrinya dengan ilmu-ilmu agama, Hadits dan Sastra. Di lingkungan seperti itulah sang bayi yang bernama Hasan al-Banna kelak lahir. Nama yang memiliki arti sang pembangun kebaikan. Ia terlahir ditengah-tengah keluarga yang membesarkannya dengan Islam pada tanggal 17 Oktober 1906. ayahnya Syaikh Ahmad Abdurrahman al-Banna al-Sa'ati adalah seorang ahli Fikih dan pakar Hadis. Tetapi Hasan al-Banna memberikan sebutan ayah bukan pada ayah kandungnya. "Islam adalah ayahku satu-satunya" ucapnya semenjak ia belia.
Selain seorang alim ayahnya juga seorang pengusaha arloji yang cukup sukses. Dari usahanya itu ia membesarkan seluruh keluarganya, bahkan untuk membiayai penulisan buku-buku Fikih karyanya. Rumah keluarga ini memiliki perpustakaan pribadi yang kelak akan menjadi bekal utama pertumbuhan intelektual Hasan al-Banna.

Hasan adalah putra sulung dari lima bersaudara, semuanya laki-laki. Didalam keluarganya, tradisi intelektual tumbuh dengan suburnya. Maklum ayahnya juga seorang jurnalis. Ia seorang redaktur yang membidangi subjek sîrah dalam masalah Urwath al-Wusqâ yang dipimpin Syaikh Jamaluddin al-Afghâni, seorang tokoh besar dalam pergerakan Islam di dunia dengan gagasannya, Pan Islamisme.

Jadi, tak mengherankan pada usia yang baru 12 tahun, ia sudah termotivasi untuk menghafal separuh al-Quran, terlebih dukungan moril dari sang ayah. Hingga pada usia 14 tahun ia sudah mampu menghafal seluruh al-Quran.
Sejak belia, Hasana al-Banna telah dikepung kegelisahan yang mendalam. Mesir berada di bawah penjajahan Inggris saat itu. Dan, seperti semua wilayah yang sedang dijajah, terjadi kerusakan perilaku di mana-mana. Islam, telah membuat dirinya risau. Saat ia berusia 13 tahun, ia telah bergabung dalam sebuah demonstrasi besar untuk menentang penjajahan Inggris pada tahun 1919.
Pada usia itu pula, Hasan al-Banna memulai kariernya sebagai seorang yang menyeru amar ma'ruf nahi mungkar. Ia mendirikan sebuah organisasi yang ia beri nama Muhârabah al-Munkarât atau Organsisai Pemberantas Kemungkaran.

Setelah selesai jenjang pendidikan di tingkat menengah, Hasan al-Banna pun melanjutkan studinya ke Perguruan Tinggi di Universitas Darul Uluum. Dengan kecerdasan yang ia miliki, al-Banna muda pun menjadi mahasiswa yang paling berprestasi di Universitasnya dengan gelar yudisium terbaik tingkat pertama. Bahkan ketika ujian akhir, selain al-Quran dan Hadis, ia juga telah menghafal 17.000 bait syair dan kata-kata hikmah.
Di usianya yang masih remaja ini, ia sudah dikedepankan dengan permasalahan-permasalahan yang dialami umat Muslim saat itu, bermula dari kebobrokan moral dan etika yang merupakan dampak negatif dari penjajahan. Hatinya resah dan gundah, jiwanya tercabik dengan keadaan yang sedemikian rupa. Terlebih Dinasti Usmaniyah yang kala itu masih berdiri sedang berada dalam masa kacau. Terjadi usaha besar-besaran untuk merobohkan dinasti ini. Khilâfah islâmiyah pada masa itu dipimpin oleh Sultan Abdul Hamid II. Pemberontakan bermula dari konsfirasi yang diprakarsai oleh Gerakan Zionis Yahudi, setelah kegagalan Theodore Hertzl Ketua Zionis Internasional saat itu dalam usahanya melobi khalifah atas wilayah Palestina.

Dengan kepedihan hati yang mendera-dera, Hasan al-Banna pun memulai perjuangannya dengan mengumpulkan sahabatnya. Bermula dari lima hingga enam orang saja, mereka mulai menganalisa keadaan, berdakwah dari pintu ke pintu, dari kedai minum hingga ke tempat makan. Gerakan inilah kelak yang akan menjadi cikal bakal lahirnya Ikhwanul Muslimin. Gerakan ini pelan tapi pasti. Lambat laut mulai mendapatkan tempat di hati masyarakat yang memang haus akan sentuhan Islam ketika itu.
Menurut Fathi Yakan -salah seorang kader terbaik Ikhwanul Muslimin- dalam bukunya, Revolusi Hasan al-Banna, mengatakan bahwa embrio gerakan ini dimulai dengan lima orang saja. Kemudian kelimanya memilih nama Ikhwanul Muslimin (IM) sebagai julukan. Sebuah nama yang dipilih karena telah menjadi nama yang dimiliki oleh umat Islam. "Kita adalah Ikhwanul Muslimin. Kita adalah saudara kamum Muslim". Ujar Hasan al-Banna menandai babak baru gerakan dakwahnya.
Ikhwanul Muslimin menunjukan perkembangan yang luar biasa. Masyarakat lemah yang disentuh oleh gerakan dakwah ini menjadi kekuatan baru di Ismailiyah. Bahkan di tahun-tahun pertamanya Ikhawanul Muslimin telah berhadapan dengan penjajah Inggris yang tidak senang dengan gerakan ini. Pada periode ini Hasan al-Banna mempunyai sebuah pengajian khusus yang selalu diadakan pada hari selasa. Pengajian tersebut didatangi oleh banyak orang. Mula-mula puluhan, lalu ratusan bahkan ribuan. Pengajian ini dikenal dengan sebutan Haditsuts Tsulatsa. Tetapi Hasan al-Banna lebih sering menyebutnya dengan 'Atifatuts Tsulatsa. Maka jadilah hari Selasa hari yang ditunggu-tunggu.
Dalam kata-katanya sendiri, Hasan al-Banna mengaku tidak menuliskan buku, tapi menulis laki-laki. Artinya ia tidak ingin terfokus melahirkan buku-buku yang berisikan pikiran, gagasan, dan seluruh pengalamannya. Tetapi yang lebih ia perhatikan adalah bagaimana melahirkan kader-kader yang akan meneruskan perjuangan yang telah ia rintis; perjuangan yang sesungguhnya tak akan pernah redup.
Kematian sang revolusioner bukanlah sebuah akhir tapi awal dari perjalanan yang sangat panjang. "Perjuangan manusia tidak berakhir kecuali setelah ia menapakkan kaki nya di pintu surga". Demikian yang pernah di ungkapkan Imam Hambal di sela langit kata-katanya
..
Meskipun Hasan al-Banna mengatakan bahwa ia tidak menulis buku, tapi bukan berarti ia sama sekali tidak menulis. Ia juga menulis buku untuk mengabadikan pemikiran dan pengalamannya. Beberapa buku yang menjadi warisan untuk Islam khususnya kader Ikhwan, adalah buku hasil dari kumpulan ceramah dan khutbahnya. Diantaranya adalah: Ahâdîtsul Jum'ah, Da'watunâ, Ilâ asy-Syabâb, Da'watunâ fî Thaurin Jadîd dan masih banyak yang lainnya.`

Keadaan umat Islam sekarang persis seperti kondisi masyarakat pada masa hidupnya Hasan al-Banna. kebobrokan moral, krisil multidimensi yang merongrong seluruh negara Muslim, perang pemikiran yang dilancarkan para Misionaris seakan tiada akhir. Sudah saatnya revolusioner zaman ini lahir kembali. Sang pembangun kebaikan.

"Sesungguhnya kehidupan di dunia ini hanya digerakkan oleh sedikit manusia". Lalu, ia membuat peta tentang manusia, terutama seorang Muslim. "Dari seluruh yang ada, hanya sedikit yang sadar. Dari sedikit yang sadar itu, lebih sedikit lagi yang berdakwah. Dari sedikit yang berdakwah, lebih sedikit lagi yang berjuang. Dan dari sedikit yang berjuang hanya sedikit yang sabar. Begitu pula dari mereka yang sedikit dalam bersabar itu, lebih sedikit lagi yang sampai akhir perjalanan".
kutulis atas permintaan seorang kawan karibku.
see u next..

No comments: